Cerpen Tema Pandemi Covid-19

 





Keluargaku direnggut Corona Virus

Oleh : Hotmida Sinaga

 

            Namaku Ryuka, di sini aku menuliskan bagaimana virus corona yang sedang beredar di bumi ini merenggut keluarga tercintaku. Cerita ini bermula di saat Ayahku mengalami demam, awalnya kami berpikir itu biasa saja karena kebetulana Ayah sempat terkena hujan sepulang kerja. Ayahku seorang buruh pabrik, sedangkan Ibuku penjual gorengan di dekat rumah dan aku hanya memiliki satu orang Adekku.

            “Yah, demamnya gimana? Apa kita berobat aja.” tanyaku lirih pada Ayahku yang berbaring di tempat tidurnya dan sepertinya semakin parah dari sebelumnya.

            “Gak usah, nak. Ayah hanya demam kena hujan kemaren aja. Lagi pula bapak takut ke klinik karena pandemi ini.”jawab Ayahku dengan nada lemah.

            Semenjak adanya virus corona di tahun 2020 yang berawal Maret 2020, pemerintah sudah menetapkan agar tetap di rumah saja dan memakai protokol kesehatan apabila keluar rumah. Namun kami tidak bisa hanya di rumah saja, karena keluarga kami masih membutuhkan biaya kehidupan, bayar uang sekolah aku dan adekku, ditambah lagi dengan uang membeli kuota data dan kebutuhan lainnya.

Dengan berat hati kami harus menjalaninya dan mematuhi pemakaian protokol kesehatan dalam segala aktivitas kami. Selain itu, Tuhan masih berpihak pada keluarga kami dimana banyaknya perusahaan yang melakukan PHK (Putus Hubungan Kerja) pada karyawannya tetapi Ayahku masih tetap dipertahankan oleh perusahaan tempat Ayah bekerja.

Dua hari setelah Ayah tidak sembuh dari demamnya, akhirnya aku mencoba selaku anak pertama dan lebih memahami situasi yang terjadi. Aku mengajak ayah berobat ke puskesmas karena bisa menggunakan BPJS Kesehatan (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan).

“Yah, kita ke puskesmas yuk. Tenang aja, gak ada apa-apa koq. Nanti kalau Ayah gak sembuh-sembuh dikira teman Ayah entar ada apa-apa. Gimana, hayoo.”ucapku dengan lembut dan nada yang merayu agar Ayah tidak takut.

“Anak Ayah ini dah pintar merayu yah, he he he. Ya udah Ayah mau.”ucap Ayahku begitu senang seakan dia tidak merasakan demam itu lagi dan aku senang melihatnya.

Kami pun pergi ke puskesmas yang jaraknya sekitar 15 menit ditempuh oleh motor. Aku membawa motor dan membonceng ayah sembari aku mengucap kata yang membuat Ayah bisa tertawa. Layaknya sepasang pemuda/i yang sedang kasmaran.

“Ayah, kita sampai.”ucapku ceria.

“Gak terasa ya, Nak. Putri kesayanganku ini paling jago sih membuat suasana hidup jadinya Ayah gak kepikiran apa-apa.”ujar Ayah dan merangkul pundakku rasanya begitu nyaman menuju ruangan pemeriksaan.

Tak berapa lama kemudian, setelah Ayah diperiksa seorang perawat memanggilku, Aku kaget dan bertanya-tanya. Dia mengajakku ke sebuah ruangan yang bertuliskan GUGUS COVID-19. Membaca apa yang di pintu itu membuatku semakin takut dan pikiranku terbang tak menentu.

            “Apa adek wali pasien yang bernama Antoni?”tanya perawat itu dengan nada serius memegang sebuah kertas dan jantungku mulai berdegup kencang.

            “Iya benar. Ayah saya dimana ya, Kak?”tanyaku karena aku khawatir akan Ayah.

            “Baiklah, Ayah adek baik-baik saja koq. Di sini saya ingin memberitahukan bahwa melihat ciri dari apa yang Ayah Adek miliki. Kami mencoba melakukan Rapit Test dan hasilnya reaktif . Untuk itu Ayahnya Adek sekarang di ruangan isolasi.”jelas perawat itu dan membuat diriku kaget, gak percaya dan sedih setelah mendengar semuanya.

            “Sebenarnya ini belum 100% COVID-19, Dek. Bisa jadi ada virus lain, namun ada baiknya kita cek lebih lanjut lagi yaitu Swab. Tetapi untuk saat ini kami belum menyediakannya hanya ada di rumah sakit yang telah dipilih pemerintah. Namun untuk lebih mudah kami bisa merujuk ke Rumah Sakit tersebut.”tambah perawat itu lagi semakin membuat hatiku kacau balau.

            Aku hanya diam membisu, bagaimana mungkin hal itu terjadi pada Ayahku. Muncul begitu banyak ketakutan pada diriku dan bahkan rasa bersalah karena membawa Ayah ke puskesmas yang sebelumnya telah Ayah tolak. Aku benar-benar bingung, bagaimana aku harus memberitahukannya pada Ayah, Ibu dan Adekku. Apa yang harus aku lakukan, aku benar-benar bingung dan rasanya ingin aku memberontak.

Apa yang kami takutkan dan selalu kami berdoa agar hal ini tidak terjadi pada keluargaku namun nyatanya tak bisa kuterima.Tiga hari kemudian berkat diriku dan para pihak medis yang membujuk seluruh keluargaku akhirnya kami melakukan Swab Test dan hasilnya kami semua Positif COVID-19.

Hasil yang benar-benar memukul kami semua. Ditambah lagi kami yang harus diisolasi di Rumah Sakit yang berbeda-beda. Ayah dan adekku berada di satu Rumah Sakit sementara Aku dan Ibu di dua Rumah Sakit berbeda. Hal itu dikarenakan banyaknya pasien yang diisolasi dan minimnya ruangan di tiap Rumah Sakit. Walau begitu kami berusaha melakukan sesuai peraturan kelak kami semua sembuh.

Selama isolasi kami harus taat jaga pola hidup sehat, meningkatkan imun tubuh. Olahraga dan berjemur serta mematuhi segala aturan yang diberikan para pihak medis. Pikiranku tak pernah tenang selama kami semua terpisahkan, aku merindukan Ayah, Ibu dan juga Adekku. Hanya dalam doa saja aku membawa mereka, Ibu yang selalu aku hubungi tidak pernah mengangakat handphonenya.

Sepuluh hari setelah diisolasi, kami dilakukan Swab ulang dan hasilnya masih tak bisa kuterima. Ayah, Ibu dan Adekku masih positif sedangkan aku sudah sembuh dan diperbolehkan pulang walaupun masih diminta untuk isolasi diri di rumah sampai benar-benar pulih total. Aku senang akan kesembuhanku, aku bisa melihat keluargaku dan menjenguk mereka.

“Permisi suster, apa di sini ada pasien Covid bernama Antoni dan Ridwan?”tanyaku pada perawat yang sedang bertugas di  Rumah Sakit tempat Ayah dan Adekku dirawat.

“Sebentar ya, Dek. Saya cek.”jawabnya sembari menekan keyboard komputernya.

Jantungku berdegup kencang, aku ingin sekali bertemu mereka dan jika tidak diperbolehkan melihat mereka baik-baik saja aku akan sangat senang.

“Atas nama Antoni saat ini sedang dirawat intensif, Dek. Hal itu dikarenakan Bapak Antoni mengalami sesak napas yang membutuhkan bantuan oksigen.”jelas perawat itu seakan menusuk diriku.

“Sementara Ridwan saat ini masih di ruang isolasi.”tambah perawatnya.

Dengan air mata yang tak terbendung aku meminta agar aku melihat mereka hanya sebentar saja. Tetapi permintaanku ditolak, aku mengerti akan hal itu. Lalu dengan langkah dan pikiran yang tak begitu jernih aku bergegas menuju Rumah Sakit Ibu dirawat. Sekali lagi aku harus mendengar ucapan yang membuatku sangat terpukul.

“Pasien atas nama Lina sudah lima hari di ruang intensif karena beliau mengalami sesak napas yang cukup parah.”ucapan seorang perawat padaku tentang keadaan Ibu.

Perlahan aku menenangkan diriku, dalam hati aku harus kuat dan tetap semangat. Aku yakin mereka bisa melawan virus itu. Kerasnya hidup sudah kami lalui bersama lebih dari virus itu. Setiap saat kusebut nama mereka dalam setiap lantunan doaku. Aku meminta seluruh doa pada teman, keluarga dan kerabat lainnya.

Sesaat setelah aku selesai berdoa, kusandarkan punggungku dikursi tunggu Rumah Sakit dimana Ibuku dirawat. Tiba-tiba ponselku berbunyi menandakan adanya panggilan, aku yang biasanya tidak menerima panggilan nomor baru kini aku menerimanya.

“Selamat pagi, ini dari Rumah Sakit Bersama. Apa benar ini keluarga saudara Bapak Antoni?”tanya seseorang dari panggilan tersebut dan itu merupakan tempat Ayah dirawat.

Aku mencoba tetap tenang agar aku fokus dan memahami situas.”Iya benar, ini saya Anaknya. Ada apa ya, Mbak?”tanyaku dengan tenang.

“Mohon maaf, pasien atas nama Antoni telah dipanggil Tuhan. Kami meminta saudara atau kerabat datang ke Rumah Sakit untuk memberikan ucapan terakhir sebelum kita kebumikan.”ucapnya lalu menutup panggilan.

Hatiku kacau, sedih ingin aku memberontak. Air mata yang kini tak terbendung lagi membasahi wajahku sembari aku bergegas dengan motor yang Ayah belikan padaku. Sejenak setelah aku melihat jenazah Ayah, hancur hatiku seperti ditusuk dan ingin meledak. Air mataku kini pecah mengingat Ibu dan Adekku yang belum mengetahuinya. Beberapa jam kemudian Ayah pun dikebumikan.

Tak ingin hal itu terjadi lagi, aku meminta pihak Rumah Sakit memindahkan Adekku ke Rumah Sakit tempat Ibuku dirawat. Mereka menyetujuinya, semangatku yang hilang karena kepergian Ayah harus kububur dalam-dalam karena masih ada Ibu dan Adek yang perlu kupertahankan. Kini Adek dan Ibu berada di satu tempat walau beda ruangan. Aku menatap wajah tampan adekku yang masih SMP itu dari kaca jendela tempat dia dirawat.

            Tiga hari kemudian, tepat hari ke-14. Hal yang mengejutkan diriku pun kini terulang lagi, keadaan Adekku semakin memburuk dan harus masuk ruang Intensif. Sedangkan ibuku masih belum ada perubahan yang ada semakin menurun, aku semakin bingung.

            Sekitar pukul 08.00 WIB, satu jam setelah Adekku dipindah. Seorang perawat menghampiriku dan bertanya. “Apa benar dengan Ryuka?”

            “Iya, benar.”jawabku.

            “Apa Lina Ibu anda?”

            “Iya, benar.”jawabku lagi.

            “Mohon maaf setelah semua kami lakukan sepertinya Ibu Anda telah bersama Yang Kuasa.” ucap perawat itu dan benar-benar membuatku tak berdaya lagi. Ucapan sperti itu sudah aku dengar dua kali di hari yang berdekatan.

            “Apa salah keluarga kami, Tuhan? Kenapa kau begitu tegaa. Kenapa bukan aku saja yang kau ambil”lirihku tak kuat akan segalanya.

            Beberapa jam kemudian, Adekku pun kini ikut bersama Ayah dan Ibu. Kini aku tinggal sendiri dan sebatang kara. Luka yang sangat perih, melihat mereka dalam waktu berdekatan meninggalkanku. Tangisku saja tak bisa menghidupkan mereka lagi, teringat semua kenangan bersama mereka. Ingin aku rasanya mengakhiri hidupku.

            “Kurang ajar kau Covid, kau merenggut hartaku. Kau rebut bahagiaku.”teriakku bersama tangisku.

 

 

 

           

           

Hotmida Sinaga

Manusia yang penuh dengan noda dosa dan kesalahan. Hiksss :( Pengen kenal dekat boleh ig. @sinagaa2000. Arigatou :)

Post a Comment (0)
Previous Post Next Post